Jakarta (ANTARA) - Pada masa kolonial di Amerika Serikat, lobster ternyata merupakan makanan yang kerap disantap oleh kalangan masyarakat bawah termasuk orang miskin, atau termasuk menu yang kerap dihidangkan bagi narapidana.
Menurut artikel di situs Time.com bertajuk "11 Lobster Facts That Will Leave You Shell Shocked", hal itu karena lobster kala itu berharga murah, memiliki stok yang banyak, serta dinilai bercita rasa hambar.
Siapa sangka bahwa beberapa abad kemudian, lobster merupakan salah satu komoditas yang banyak dibicarakan di Indonesia, lebih tepatnya mengenai kebijakan yang membuka ekspor benih lobster.
Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kini dipimpin Edhy Prabowo, Sementara ketika kementerian itu dipimpin Susi Pudjiatuti, ekspor benih lobster dilarang.
Hal lainnya yang juga menjadi kontroversi adalah sejak dibukanya ekspor benih lobster, berbagai perusahaan yang mencoba mendapat izin dari KKP ternyata beberapa di antaranya adalah orang Gerindra, parpolnya Edhy Prabowo.
Saat Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Senin (6/7), Edhy menolak tudingan bahwa ada perlakuan istimewa kepada pihak tertentu terkait pemberian izin ekspor benih lobster.
"Yang memutuskan (perusahaan mana yang boleh mengekspor benih lobster) juga bukan saya, tetapi tim. Surat pemberian izin itu tidak dari menteri, tetapi dari tim yang sudah ada," kata Edhy Prabowo.
Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengungkapkan bahwa siapapun yang ingin mendaftar ekspor benih lobster diserahkan kepada tim. Tim lintas direktorat tersebut yang nanti akan memutuskan sesuai regulasi yang berlaku apakah suatu perusahaan sudah memenuhi syarat atau belum.
"Ada cerita-ceritanya saya yang menentukan salah satu perusahaan. Tidak benar itu. Sudah ada timnya. Tim budi daya, tim perikanan tangkap, karantinanya, termasuk saya libatkan irjen. Semuanya terlibat, ikut turun tangan," tegasnya.
Edhy Prabowo juga menyatakan telah melarang kerabat keluarganya untuk terlibat dalam perizinan bisnis ekspor benih lobster dan menegaskan pihaknya siap untuk diaudit terkait pengelolaan komoditas lobster.
Edhy mengaku tidak mempersoalkan banyak cibiran atas keputusannya mengizinkan pengambilan dan ekspor benih lobster, karena keputusan itu dinilai sudah berdasarkan kajian ilmiah dan mengikuti semua prosedur.
Ia menegaskan, alasan utamanya mengeluarkan izin tersebut ingin menghidupkan kembali puluhan ribu nelayan penangkap benih yang kehilangan pekerjaan dan mendorong majunya budi daya lobster nasional tanpa mengabaikan keberlanjutan.
"Saya tidak peduli di-bully, yang penting saya berbuat yang terbaik untuk masyarakat saya. Saya enggak takut dikuliti, karena yang saya perjuangkan bagaimana masyarakat kita bisa makan, dan itu sesuai perintah Presiden," ujar Edhy Prabowo. Ia pun mengajak masyarakat untuk menitikberatkan pengawasan pada proses pemberian izin, bukan malah mengurusi perusahaan siapa yang mendapat izin.
Transparansi
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti aspek transparansi dalam pemilihan perusahaan eksportir benih lobster yang selama ini telah diizinkan oleh KKP.
"Apa dasar pemilihannya dan bagaimana rekam jejak perusahaan-perusahaan itu? Masyarakat tak ada yang mengetahui hal itu," kata Sekjen Kiara Susan Herawati.
Susan mengingatkan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama masyarakat bahari yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan.
Selain itu, kata dia, ada penilaian Ombudsman yang menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut. Susan mendesak informasi detail 26 perusahaan yang mendapatkan izin ekspor benih lobster dibuka.
Perusahaan-perusahaan tersebut dinilainya mendapatkan keuntungan paling besar dengan adanya Permen Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Pada saat yang sama negara dinilai hanya menerima PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sangat kecil sekali.
"Berdasarkan data Bea dan Cukai pada tanggal 12 Juni 2020 PNBP yang diperoleh negara hanya sebesar Rp15.000 dari 60.000 ekor benih lobster yang diekspor. Angka yang sangat miris sekali. Jika negara hanya mendapatkan Rp15.000 per 60.000 ekor, maka berapa yang didapatkan oleh nelayan? Fakta ini menunjukkan perusahaan ekspor lobster menang banyak," ujarnya Susan.
Oleh karena itu ia meminta Edhy Prabowo membatalkan Permen KP Nomor 12 tahun 2020 karena dampak buruknya bagi nelayan, keberlanjutan ekosistem perairan, dan perekonomian negara sangat besar.
Sementara itu Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan berbagai kebijakan di sektor kelautan selayaknya jangan hanya berdasarkan kepentingan ekonomi jangka pendek, seperti kebijakan membolehkan ekspor benih lobster yang dinilainya berpotensi membahayakan dan merugikan masyarakat pembudidaya lobster secara jangka panjang.
Ditanyakan mengenai regulasi Menteri Kelautan dan Perikanan yang memberlakukan kuota ketat dan juga persyaratan bahwa yang mengekspor juga harus menerapkan budi daya lobster dengan baik dan diawasi berkala oleh KKP, Abdul Halim berpendapat bahwa hal tersebut hanya fakta "di atas kertas".
Ia berpendapat bisa saja ada kejanggalan seperti misalnya ada pihak yang menyatakan diri sebagai kelompok pembudidaya lobster di bawah perusahaan eksportir, namun bila dilihat berdasarkan rekam jejaknya dapat diketahui apakah perusahaan itu benar-benar pernah terlibat atau tidak dalam urusan budi daya lobster.
Kesejahteraan
Sedangkan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad menilai bahwa langkah pemerintah yang membuka kran ekspor benih lobster dapat membantu kesejahteraan nelayan.
"Semua kebijakan pemerintah itu harus pro dan menguntungkan masyarakat dan keputusan pemerintah membuka kran ekspor benih lobster itu bagus untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Apalagi ada kebutuhan pasarnya. Itu harus dilayani," ujar Fadel.
Menteri Perikanan dan Kelautan Kabinet Indonesia Bersatu itu mengatakan, upaya pemerintah yang melegalkan kembali ekspor benih lobster itu merupakan keputusan berani dan tetap diawasi bersama, terutama terkait syarat eksportir benih lobster harus memiliki kegiatan budi daya lobster.
Anggota Komisi IV DPR RI Charles Melkiansyah menginginkan KKP lebih baik mengedepankan budi daya daripada dengan aktivitas ekspor benih lobster yang saat ini menjadi kontroversi.
Politisi Fraksi Partai Nasdem itu menekankan pula agar pembudidayaan lobster bermanfaat nyata dalam meningkatkan potensi ekonomi dan kesejahteraan untuk masyarakat di tengah pandemi.
Terkait dengan proses pemberian izin ekspor benih lobster, ia mengutarakan harapannya agar dalam mekanisme perizinan itu benar-benar dilakukan dengan memegang teguh prinsip transparansi.
Dengan demikian, lanjut Charles, maka seluruh elemen anak bangsa yang dapat memenuhi persyaratan bisa melakukan ekspor komoditas tersebut sesuai peraturan yang berlaku.
Tradisional
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga menyatakan dari Sabang sampai Merauke banyak orang yang hidup dengan menjadi nelayan lobster yang menangkap dengan alat tangkap tradisional serta tidak merusak lingkungan.
"Banyak, dari Sabang sampai Merauke masyarakat tergantung hidupnya dari mengambil anakan lobster ini dan mengambilnya juga tidak menggunakan alat bantu ekstrim," katanya.
Ia mengatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 terbuka kesempatan bagi siapapun untuk menangkap benih atau melakukan budi daya lobster. Bahkan, lanjutnya, bagi perorangan tidak diperlukan izin khusus selama bertujuan untuk konsumsi sendiri. Izin, kata dia, diwajibkan bagi perusahaan atau badan hukum.
Selain itu, izin juga untuk mengikat serta menjadi kepastian harga pembelian dari perusahaan kepada nelayan penangkap benih.
Adapun alasan dia melegalkan penangkapan benih lobster lantaran survival rate-nya sebesar 0,02 persen atau hanya satu yang hidup dari 20.000.
Dikatakannya, regulasi lobster juga mengusung semangat penguatan budi daya. Isu ekspor benih lobster dihentikan sembari menyiapkan sumber daya manusia serta teknologinya seperti yang dilakukan di BBPAP Situbondo serta BPBL Lombok.
Menurut dia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 adalah memastikan bahwa nelayan dapat mencari penghidupan dengan menangkap benih lobster. Selain itu, kebijakan tersebut juga ditujukan untuk membangkitkan geliat pembudidayaan lobster di berbagai daerah.
Terlebih, lanjutnya, saat ini pemerintah telah menyediakan akses permodalan yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan.
Untuk itu Edhy Prabowo menginginkan publik dapat melihat kebijakan itu secara utuh dengan mengingat arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan meliputi perlindungan dan pemberdayaan serta peningkatan pendapatan nelayan.
Terlepas dari ekspor benih lobster, berbagai pihak sebenarnya sepakat bahwa di Indonesia ini perlu untuk dilakukan penguatan budi daya, sebagai nilai tambah ke depannya.
Bukankah mengekspor lobster yang berukuran dewasa memiliki nilai yang jauh lebih besar dibandingkan hanya sekadar mengirim benihnya untuk dibudidayakan di luar negeri?
Untuk itu diharapkan KKP benar-benar sungguh-sungguh guna mengedepankan aspek pembudidayaan lobster dan ketika Indonesia sudah memiliki budi daya lobster yang maju, maka alangkah eloknya bila ekspor benih lobster juga dihentikan.
Memang berselisih soal benih lobster, tapi sepakat tentang budi daya
Sabtu, 11 Juli 2020 15:36 WIB