Jakarta (ANTARA) - Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang lebih dikenal dengan Yenny Wahid mengatakan sistem proporsional terbuka maupun tertutup sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Yenny mengatakan sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka, membuka ruang lebih luas kepada konstituen untuk mengenal calon yang akan dipilih atau yang dipercayakan duduk di kursi parlemen.
Namun, di sisi lain, sistem tersebut (proporsional terbuka) dinilainya menyebabkan ongkos atau biaya politik yang tinggi. Imbasnya, politik uang berpotensi besar terjadi dalam sistem pemilu proporsional terbuka.
Kelemahan lainnya, kata dia, calon yang akan duduk di kursi parlemen belum tentu berkualitas karena bisa saja hanya mengandalkan popularitas dan didukung kekuatan finansial yang kuat.
Sementara, pada sistem proporsional tertutup, partai politik bisa mengalokasikan kursi bagi calon-calon yang dinilai berkualitas terutama dalam melahirkan produk-produk legislasi.
Akan tetapi, sambung dia, kedua sistem tersebut pada dasarnya sama-sama memiliki kelebihan dan keunggulan.
Saat ditanya sikap atau arah Yenny yang juga Direktur Wahid Foundation tersebut terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, ia tidak memberikan pasti.
Sebagai informasi, saat ini sistem proporsional terbuka sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu tercatat pada Permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Pemilu.
Gugatan tersebut diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.