Beijing (ANTARA) - Dunia saat ini sedang mengalami fenomena pemutihan karang (coral bleaching) global untuk keempat kalinya, atau yang kedua kalinya dalam satu dekade terakhir, akibat kenaikan suhu laut yang disebabkan perubahan iklim, sebut laporan terbaru.
Pemutihan karang massal sejak awal 2023 telah dikonfirmasi di setidaknya 53 negara, kawasan, dan perekonomian lokal, termasuk Karang Penghalang Besar (Great Barrier Reef) Australia, terumbu karang terbesar di dunia, ungkap pernyataan yang dirilis bersama oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA) Amerika Serikat dan Inisiatif Terumbu Karang Internasional pada 15 April.
Fenomena pemutihan karang global sebelumnya terjadi pada 1998, 2010, dan dari 2014 hingga 2017.
Menurut laporan yang diterbitkan pada April itu oleh Otoritas Taman Laut Karang Penghalang Besar yang didanai oleh pemerintah federal Australia, terumbu karang yang terdaftar sebagai Warisan Dunia UNESCO itu mengalami pemutihan massal terburuk sepanjang sejarah.
Hampir tiga perempat terumbu karangnya menunjukkan tanda-tanda pemutihan, dan hampir 40 persen menunjukkan pemutihan yang parah atau ekstrem.
"Dari Februari 2023 hingga April 2024, fenomena pemutihan karang yang signifikan telah didokumentasikan di Belahan Bumi Utara dan Selatan di setiap cekungan laut utama," kata Derek Manzello, koordinator program Pengawasan Terumbu Karang (Coral Reef Watch) NOAA.
Pemutihan karang terjadi ketika karang mengalami stres akibat panas hingga "mengusir" ganggang simbiosis yang hidup di jaringannya, sehingga karang berubah warna menjadi putih. Karang yang mengalami pemutihan tidak mati, namun lebih berisiko mati karena kelaparan akibat gangguan dalam proses fotosintesisnya.
Para peneliti menemukan bahwa penyebab pemutihan karang mencakup suhu laut yang abnormal, radiasi ultraviolet, badai, polusi, dan infeksi bakteri atau virus. Meski demikian, penyebab utama pemutihan karang berskala besar adalah suhu laut yang tidak normal dalam jangka waktu yang lama.
"Ketika suhu air laut melebihi ambang batas normal dalam jangka waktu yang lama, karang akan menderita stres akibat panas. Suhu yang tinggi akan mengganggu hubungan simbiosis antara karang dan mikroalga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang.
Ganggang tersebut kemudian akan menghasilkan molekul yang merusak ganggang itu sendiri maupun karang," kata Mathilde Godefroid, yang meneliti terumbu karang di Institut Max Planck untuk Mikrobiologi Kelautan (Max Planck Institute for Marine Microbiology) di Jerman.
"Guna merespons hal tersebut, karang pun "mengusir" mitra simbiosisnya itu demi meminimalkan kerusakan," jelas Godefroid, seraya menambahkan bahwa meskipun pengusiran itu membantu sel-sel karang untuk sementara waktu, kelangsungan hidup karang dalam jangka panjang akan terancam, mengingat mikroalga memenuhi hingga 90 persen kebutuhan energi karang melalui fotosintesis.
Selain itu, keberadaan alga juga memberi warna pada karang. Ketika alga luruh, jaringan karang menjadi transparan dan menyingkap kerangka putih di bawahnya, sehingga karang tampak memutih, papar Godefroid.
"Jika suhu lingkungan kembali normal dengan relatif cepat, karang dapat membangun simbionnya kembali dan bertahan dari pemutihan, bahkan jika hal ini secara alami membuat terumbu karang sangat tertekan. Namun, jika peningkatan suhu terus berlanjut atau faktor stres lainnya bertambah, karang tidak akan dapat pulih kembali dan akhirnya akan mati," jelas Godefroid.
"Di saat suhu laut dunia terus meningkat, pemutihan karang pun menjadi lebih sering terjadi dan makin parah," kata Manzello.
"Jika peristiwa-peristiwa tersebut cukup parah atau berkepanjangan, terumbu karang akan mati, sehingga merugikan masyarakat yang bergantung pada terumbu karang untuk mata pencaharian mereka." ujarnya lagi.
Karang Penghalang Besar telah mengalami lima kali pemutihan massal dalam delapan tahun terakhir. Peningkatan suhu laut yang disebabkan oleh perubahan iklim membuat terumbu karang makin sulit untuk pulih di antara pemutihan massal tersebut, kata ahli biologi kelautan Terry Hughes dari James Cook University di Townsville, Australia, dalam laporan terbarunya di situs jurnal Nature.
Terumbu karang memainkan peran krusial dalam ekosistem laut dan sangat erat kaitannya dengan industri yang sedang berkembang, seperti perikanan dan pariwisata.
Tingkat dan kecepatan pemanasan global sangat menentukan kelangsungan terumbu karang dunia. Jika suhu global meningkat 1,5 derajat, diperkirakan 70 hingga 90 persen terumbu karang dunia akan lenyap. Sementara, jika suhu meningkat 2 derajat, kemungkinan pada 2050, hampir semua terumbu karang di dunia diperkirakan akan mati.
Namun, laju pemanasan global juga berdampak signifikan. Laju kenaikan suhu yang lebih lambat memungkinkan karang untuk beradaptasi.
"Jadi, jika kita berhasil membatasi pemanasan dan mengambil tindakan perlindungan lokal, kita mungkin dapat melestarikan beberapa terumbu karang atau beberapa spesies karang yang tangguh," tutur Godefroid.