Jakarta (ANTARA) - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak adanya penerapan Ujian Nasional (UN) yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kendiksasmen) Republik Indonesia.
Menurut Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo, penerapan UN kerap membuat para peserta didik merasa cemas, karena kegiatan tersebut merupakan syarat mutlak kelulusan para peserta didik. Kondisi itulah yang membuatnya menolak rencana penerapan kembali UN.
"Tapi kalau UN semata tujuannya sebagai alat evaluasi akhir jenjang, kemudian dipergunakan hasil UN itu sebagai alat seleksi, akan menimbulkan berbagai dampak negatif," kata Heru melalui keterangan resminya di Jakarta, Selasa.
Penolakan datang berdasarkan pengalaman dirinya dan juga rekan-rekan sesama guru yang telah merasakan pada saat UN diberlakukan. Menurut dia, ketika UN menjadi alat penentu kelulusan peserta didik, maka muncul kecurangan-kecurangan yang bertujuan hanya demi mendapatkan kelulusan.
Tidak hanya munculnya berbagai kecurangan demi kelulusan semata, kata dia, anggaran dan biaya yang dikeluarkan juga semakin meningkat. Banyak sekolah, memungut biaya untuk mengadakan pendalaman materi bagi persiapan peserta didik.
Menurut anggota dari Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) Rembang, Nissa melihat UN justru menempatkan posisi ibu semakin rentan dalam keluarga.
"Dampak dari UN ini seperti rantai yang tidak terputus. Ketika anak tidak lulus UN, kekerasan secara verbal dapat terjadi di keluarga. Pada akhirnya seorang suami dapat menyalahkan istri karena gagal menjadi ibu," ujarnya.
Sehingga, kata dia, jika dilihat dari berbagai sudut pandang, pelaksanaan UN sudah tidak lagi relevan. Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Itje Chodidjah menegaskan UN tidak dapat diterapkan untuk pendidikan Indonesia saat ini.
Justru kematangan mental dan kecakapan soft skill, seperti komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas, yang sangat dibutuhkan oleh siswa sekolah dalam menghadapi masa depan.
“Jika ujian nasional dihadirkan kembali ke sekolah, maka ruang kelas kita akan dipenuhi oleh kegiatan melatih siswa menjawab soal ujian,” ucap Itje.
Sementara Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengakui meski terbuka atas pembahasan UN, dampak negatif yang dirasakan pun harus diperhatikan. Dia berkaca dari pada pengalaman penyelenggaraan yang lalu, UN memang membawa tekanan berlebihan kepada peserta didik.
Sedangkan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma menilai penyelenggaraan UN merupakan tindakan melanggar hukum atau ilegal. Dia merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) pada 14 September 2009 yang melarang UN dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Putusan MA itu juga menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 21 Mei 2007. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN, terutama pada hak-hak atas pendidikan dan anak.