Jambi (ANTARA) - Setiap kali bangsa ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila, ada pesan penting yang harus direnungkan: bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang berhenti di tataran simbol, melainkan harus hidup dalam kebijakan dan perilaku nyata. Salah satu cermin paling konkret dari kesaktian Pancasila ada pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBN adalah jantung fiskal Indonesia. Dari sanalah negara mendapatkan daya untuk menggerakkan pembangunan, menjaga keadilan sosial, dan menegakkan kedaulatan ekonomi. Pancasila hadir sebagai roh yang menuntun pengelolaan APBN, agar ia tidak sekadar menjadi angka-angka dalam dokumen resmi, melainkan juga instrumen moral yang melindungi rakyat. Dengan kata lain, APBN adalah pengejawantahan nilai Pancasila dalam dunia fiskal secara adil, beradab, berpihak pada rakyat, serta berpijak pada cita-cita persatuan dan kesatuan Bangsa.
Sejarah mencatat betapa rapuhnya fondasi bangsa ketika fiskal negara goyah. Pada 1965, Indonesia mengalami inflasi di atas 600 persen, yang membuat harga-harga melonjak, daya beli rakyat anjlok, dan kepercayaan terhadap pemerintah runtuh. Lemahnya tata kelola fiskal kala itu memperlihatkan bahwa tanpa disiplin anggaran dan transparansi, negara mudah terombang-ambing.
Pasca pergantian politik, Orde Baru membangun disiplin fiskal dengan menahan defisit serta mengendalikan inflasi. Namun, orientasi pembangunan kala itu lebih berfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan, sehingga masih menyisakan jurang ketimpangan. Nilai Pancasila, khususnya sila kelima tentang keadilan sosial, belum sepenuhnya mewarnai APBN.
Krisis finansial Asia 1997–1998 kembali menjadi ujian. Nilai rupiah runtuh, perbankan kolaps, dan APBN mengalami tekanan berat. Dari situlah lahir reformasi fiskal yang melahirkan paket kebijakan fiskal berupa Undang-Undang (UU) yang meliputi UU Keuangan Negara (2003), UU Perbendaharaan Negara (2004), dan UU Pemeriksaan Keuangan Negara (2004). Sejak itu, Indonesia menegakkan disiplin fiskal dengan batas defisit 3% PDB dan rasio utang 60% PDB. Konsensus ini adalah wujud musyawarah kebangsaan dalam menjaga agar APBN tetap sehat dan berdaulat.
Praktik Fiskal Kontemporer
Pancasila tidak berhenti di masa lalu. Ia juga hadir dalam praktik fiskal kontemporer, terutama saat bangsa menghadapi krisis global. Pandemi Covid-19 menjadi contoh paling nyata. Pada 2020, defisit APBN melebar hingga 6,14% PDB, melampaui batas 3% yang selama ini dijaga. Namun keputusan melonggarkan defisit itu justru menjadi manifestasi nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial.
Belanja negara dialihkan untuk kesehatan, vaksinasi, bantuan sosial, dan subsidi gaji pekerja. Pemerintah tidak membiarkan rakyat menanggung beban sendirian. Inilah implementasi sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (keadilan sosial). Dengan APBN, Pancasila menjadi nyata: bukan sekadar ideologi di atas kertas, melainkan energi yang menyelamatkan jutaan jiwa.
Pasca pandemi, disiplin fiskal kembali ditegakkan. Pada 2023, defisit berhasil ditekan ke angka 2,38% PDB, lebih rendah dari target yang dipatok 2,84–3,0%. Rasio utang pun terkendali di sekitar 39% PDB, jauh di bawah batas aman 60%. Sementara itu, tax ratio yang sempat jatuh ke 8,3% pada 2020 berhasil naik ke 10,3% pada 2023. Angka ini memang masih di bawah rata-rata ASEAN (13–15%), tetapi menunjukkan tren perbaikan. Selanjutnya pada APBN tahun 2025 total belanja negara mencapai Rp3.836,9 triliun dan penerimaan Rp2.802,3 triliun. Defisit yang diproyeksikan pada APBn tahun 2025 adalah sebesar 2,29% PDB, dan hal tersebut menandakan keberlanjutan disiplin fiskal. Pemerintah menargetkan tax ratio 10,12% PDB dengan dukungan reformasi administrasi pajak berbasis sistem Coretax dan optimalisasi penerimaan dari ekonomi digital.
Namun, di balik angka-angka itu, tantangan besar menanti. Ada tiga hal utama yang mesti diperhatikan yaitu pembiayaan pembangunan yang masif guna pembiayaan pembangunan Infrastruktur, alokasi wajib anggaran Pendidikan dan kesehatan, serta transisi energi hijau yang memerlukan pendanaan yang mencapai Rp3.500 triliun hingga 2060. Selanjutnya adalah pembayaran atas beban bunga utang yang meningkat. Pada tahun 2024, pembayaran bunga utang diperkirakan mencapai Rp441,4 triliun, atau sekitar 12% dari belanja negara. Jika tidak dikelola dengan bijak, ruang fiskal untuk belanja produktif bisa tergerus. Berikutnya adalah gejolak global yang ditandai terjadinya konflik geopolitik, perubahan iklim, hingga volatilitas harga pangan dan energi bisa menekan penerimaan sekaligus meningkatkan beban subsidi.
Sehingga dalam situasi tersebut, Pancasila harus terus menjadi kompas moral dan APBN harus berani berpihak pada rakyat, menjaga persatuan, serta mengedepankan prinsip keadilan social Diman hal itu menjadi bukti wujud nyata kesaktian Pancasila dalam APBN untuk menjaga ketahanan bangsa yang sesungguhnya
Kompas Moral Pembangunan
APBN sesungguhnya bukan hanya sebuah dokumen anggaran yang berisi hitung-hitungan angka pendapatan dan belanja negara. Ia adalah cermin dari nilai moral bangsa, dan ketika dituntun oleh Pancasila, APBN menemukan makna terdalamnya sebagai instrumen amanah. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntut agar setiap rupiah yang dikelola negara terbebas dari praktik korupsi, dijalankan dengan etika, dan mencerminkan tanggung jawab spiritual bahwa anggaran adalah titipan rakyat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia maupun akhirat.
Dimensi kemanusiaan juga sangat kentara dalam APBN. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengingatkan bahwa alokasi belanja negara harus berpihak pada kelompok rentan. Program perlindungan sosial, subsidi bagi masyarakat miskin, hingga anggaran untuk kesehatan dan pendidikan menjadi wujud nyata kehadiran negara dalam menjaga martabat manusia. APBN dengan demikian bukan sekadar alat ekonomi, melainkan perisai moral bagi rakyat kecil agar mereka tidak tersisih dalam arus pembangunan.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menemukan artikulasinya dalam transfer ke daerah dan dana desa. Instrumen fiskal ini bukan sekadar distribusi keuangan, melainkan cara negara menjaga persatuan melalui pemerataan pembangunan. Dengan adanya dana desa, pembangunan tidak lagi terkonsentrasi di kota besar, tetapi juga merata hingga pelosok nusantara. Persatuan dalam APBN berarti menghapus kesenjangan, mengikat ikatan kebangsaan melalui rasa keadilan pembangunan.
Pada tataran demokrasi fiskal, sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menggariskan bahwa penyusunan APBN harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Proses ini melibatkan perwakilan rakyat di DPR, mendengar aspirasi masyarakat, serta mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dengan begitu, APBN bukan hasil keputusan sepihak, melainkan wujud kebersamaan dalam merumuskan arah pembangunan.
Akhirnya, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi tujuan hakiki dari seluruh perencanaan dan eksekusi APBN. Pajak harus dipungut secara adil dengan sistem progresif, subsidi harus tepat sasaran agar tidak dinikmati kalangan mampu, dan belanja negara diarahkan untuk mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi. Ketika sila-sila Pancasila membimbing arah fiskal, APBN menjelma menjadi instrumen bukan hanya teknokratis, melainkan sarana moral dan politik kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Era Baru Ekonomi
Memasuki era digital, wajah fiskal Indonesia sedang mengalami perubahan yang fundamental. Ekonomi digital tidak hanya menjadi lokomotif baru pertumbuhan, tetapi juga membuka peluang untuk memperluas basis perpajakan. Sejak 2020, pemerintah mulai memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai respon atas pergeseran pola konsumsi masyarakat ke ranah digital. Hingga 2022, kebijakan ini berhasil menyumbang lebih dari Rp10 triliun ke kas negara, menjadi bukti konkret bahwa ruang digital dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan negara yang signifikan.
Meski demikian, transformasi ini juga membawa tantangan besar dalam pengawasan fiskal. Transaksi digital kerap berlangsung lintas batas, melibatkan platform global dengan kekuatan finansial dan teknologi yang jauh lebih besar dibandingkan otoritas negara. Hal ini memunculkan risiko penghindaran pajak, ketidakadilan beban fiskal antara perusahaan lokal dan raksasa teknologi, hingga persoalan kedaulatan data. Dalam konteks inilah Pancasila berperan sebagai penuntun moral: kebijakan fiskal harus tetap menempatkan keadilan sebagai dasar, memastikan bahwa pajak digital tidak menjadi instrumen yang timpang dan merugikan rakyat kecil.
Selain itu, disrupsi teknologi telah mengubah struktur ekonomi dan pasar tenaga kerja. Otomatisasi, kecerdasan buatan, hingga platform digital menciptakan peluang baru, namun sekaligus menggeser pekerjaan tradisional. Jika tidak dikelola dengan bijak, disrupsi ini dapat memperlebar jurang ketimpangan antara mereka yang memiliki akses teknologi dengan kelompok yang tertinggal. Karena itu, fiskal negara harus diarahkan untuk mendukung transisi ini melalui investasi pada pendidikan digital, program reskilling, serta perlindungan sosial yang adaptif. Dengan berpijak pada sila kemanusiaan yang adil dan beradab, kebijakan fiskal dapat memastikan bahwa era digital benar-benar membawa manfaat inklusif.
Lebih jauh lagi, digitalisasi fiskal menimbulkan isu penting mengenai pengelolaan data dan privasi. Dalam ekonomi digital, data menjadi “aset baru” yang bernilai tinggi. Namun, tanpa regulasi dan pengawasan yang tepat, pemanfaatan data bisa berujung pada eksploitasi dan monopoli. Di sinilah relevansi Pancasila kembali mengemuka: sila persatuan dan keadilan sosial harus menjadi kompas agar kebijakan fiskal di era digital mampu menjaga kedaulatan bangsa, melindungi privasi warga, serta menjamin bahwa keuntungan dari ekonomi digital tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak, melainkan dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat Indonesia.
Instrumen Berbasis Pancasila
Ketahanan fiskal Indonesia tidak bisa dipandang semata sebagai hasil dari perhitungan teknokratis antara penerimaan dan belanja negara. Lebih dari itu, ia adalah cerminan dari arah moral yang memandu setiap kebijakan fiskal. Pancasila hadir sebagai dasar pijakan, memastikan bahwa APBN bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga sarana untuk menegakkan nilai-nilai kebangsaan. Dengan menjunjung etika dalam pengelolaan keuangan negara, menolak praktik korupsi, serta menempatkan amanah rakyat sebagai prioritas, sila pertama Pancasila menjadi benteng yang menjaga kesakralan fiskal di tengah godaan kepentingan jangka pendek.
Di sisi lain, tantangan era digital dan disrupsi teknologi menuntut agar fiskal Indonesia mampu beradaptasi tanpa kehilangan jiwa kebangsaan. Basis pajak yang melebar dari aktivitas digital, seperti PMSE yang menyumbang lebih dari Rp10 triliun pada 2022, adalah bukti nyata bahwa peluang ada di depan mata. Namun, peluang itu juga diiringi risiko ketimpangan, monopoli, hingga ancaman terhadap kedaulatan data bangsa. Dalam situasi ini, sila kemanusiaan dan keadilan sosial menegaskan bahwa kebijakan fiskal digital harus dirancang untuk melindungi rakyat kecil dan memastikan manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak, melainkan tersebar secara adil ke seluruh lapisan masyarakat.
Selain sebagai instrumen ekonomi, APBN juga berfungsi menjaga persatuan bangsa. Transfer ke daerah, dana desa, dan kebijakan subsidi adalah contoh nyata bahwa fiskal harus merajut kebersamaan, bukan memperlebar jurang antara pusat dan daerah. Pancasila menuntun agar setiap kebijakan fiskal menjadi perekat bangsa, bukan pemicu perpecahan. Dengan semangat ini, ketahanan fiskal tidak hanya diukur dari angka defisit atau surplus, melainkan dari sejauh mana anggaran negara mampu menguatkan ikatan kebangsaan dalam menghadapi berbagai guncangan, baik yang bersumber dari krisis global maupun perubahan teknologi.
Ketahanan fiskal berbasis Pancasila inilah yang menjadikan Indonesia memiliki daya tahan istimewa. Bukan semata karena kekuatan ekonominya, tetapi karena keberpihakan pada nilai kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial yang menjadi ruh pembangunan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai penuntun, APBN mampu tampil sebagai instrumen sakti yang menjaga kedaulatan, mengurangi kesenjangan, dan memastikan keberlanjutan pembangunan. Di tengah tantangan global dan era digital yang penuh ketidakpastian, kesaktian Pancasila adalah fondasi yang membuat fiskal Indonesia tetap tangguh dan berdaya saing.
