Jakarta (ANTARA) - Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menyarankan pemerintah tidak menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai tahun depan.
Hal tersebut mengingat mulai 1 Januari 2025 pemerintah memberlakukan kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Ia pun mengatakan bahwa sebaiknya pungutan cukai tersebut dimulai pada 2026.
“Jangan 2025 (penerapan cukai MBDK-nya), ini kayaknya kasihan (para produsen), ada sosialisasi satu tahun itu lebih bagus” kata Telisa saat usai menjadi pembicara untuk Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) di ANTARA Heritage Center, dikutip di Jakarta, Jumat.
Ia menuturkan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan asosiasi produsen. Para pelaku usaha tersebut mengeluhkan ketidakpastian waktu mulai diberlakukannya aturan tersebut yang mempengaruhi perencanaan produksi mereka.
Para produsen tersebut juga mengkhawatirkan adanya potensi peningkatan biaya produksi yang akan berdampak pada kenaikan harga jual produk mereka karena hal tersebut akan menurunkan minat konsumen untuk membeli dan akhirnya mengurangi jumlah permintaan.
Dengan berkurangnya penjualan, maka target laba dan tingkat pertumbuhan tahunan (compounded annual growth rate/CAGR) perseroan pun sulit untuk dikejar.
“Biasanya kan kalau perusahaan tuh harus punya target CAGR yang plus dan meningkat. Nah mereka takut CAGR-nya declining (menurun), nah itu sih yang paling ditakutin,” ucap Telisa.
Ia juga mengkhawatirkan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan tersebut juga akan memunculkan banyak produk ilegal sebagai upaya produsen untuk mengurangi biaya produksi.
Meskipun begitu, ia menyampaikan bahwa kondisi tersebut dapat dimanfaatkan oleh para produsen untuk berinovasi menciptakan produk-produk yang lebih menyasar segmen-segmen konsumen khusus.
Misalnya, memproduksi minuman dengan harga dan kualitas yang lebih rendah, produk dengan kualitas premium, atau bahkan minuman yang menyasar konsumen dengan tingkat awareness yang tinggi terhadap kesehatan.
“Sebenarnya untuk mengompensasi, kan minuman itu ada beberapa macam, mungkin ada yang low-end, ada yang high-end, nah di mana yang high-end itu yang menyasar ke yang sadar kesehatan, misalkan seperti itu. Jadi ya itu inovasi bisnis lah bisa dilakukan seperti itu,” imbuh Telisa.